Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. St. Paul
“Saya ini sudah diberikan bonus banyak oleh Tuhan. Berkali-kali kecelakaan namun tidak mati-mati. Kalau Tuhan mau panggil pulang, saya sudah siap. Namun jika Ia masih memberikan saya hidup, saya akan gunakan untuk terus bekerja dan menjaga cucu-cucu saya,” ungkap seorang kakek berusia 72 tahun. Satu hal yang sangat menarik dari pernyataan kakek tersebut adalah ia sudah siap dipanggil. Ini sungguh sesuatu yang unik. Bukankah kita kerap mendengar –bahkan mungkin mengalami- takut mati?
Kakek bernama Gabriel Slamet Mulyodihardjo ini hidup di sebuah rumah yang sangat sederhana di kota kecamatan Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Puluhan tahun hidupnya dihabiskan dengan menjadi aktivis gereja, termasuk mengunjungi orang sakit dan membuat peti mati bagi orang-orang yang tidak mampu di gerejanya. Semua dilakukannya dengan penuh sukacita. Lebih dari 17 tahun saya mengenalnya, tak pernah sekali pun ia mengeluh tentang hidupnya. Sikap untuk selalu bersyukur tampak begitu jelas dalam keseharian hidupnya.
Di usia yang senja semangat yang menyala itu tak kunjung padam. Ia masih menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu. Terkadang bahkan masih “nekat” naik ke genteng untuk membetulkan posisi genteng sehingga air hujan tidak masuk ke dalam rumah. Sesekali masih terlihat ia bersepeda santai menuju waduk sempor di atas gunung (yang berjarak belasan kilometer dari rumah).
Berdoa dan membaca tetap menjadi aktivitas yang tidak pernah dilewatkannya. “Meski sudah tua dan gampang lupa, saya tetap suka membaca,” katanya. Kitab suci baginya sudah seperti pasangan hidup. “Hanya belas kasihan Tuhan yang membuat saya tetap hidup penuh semangat seperti hari ini,” lanjutnya.
Di usia yang tidak lagi muda, dengan gigi yang ompong, ramput memutih, pendengaran yang mulai terganggu dan kerutan kulit wajah, ia selalu tampak antusias ketika bermain bersama cucu-cucunya. Bahkan, kerap kali cucunya meminta tidur bersama sang kakek. Intinya, di mana pun sang kakek berada, sukacita itu selalu hadir bersamanya.
Anda mungkin bertanya, kok saya bisa tahu detil mengenai sang kakek tersebut? Ya, tentu saja saya tahu sebab kakek itu adalah mertua saya sendiri. Ada begitu banyak inspirasi yang saya peroleh dari hidup beliau yang teramat bersahaja.
Saya masih ingat betul saat kami berdua berada di ruang tunggu ICU (intensive care unit) RS Harapan Kita, Jakarta. Pada saat itu, Priscilla, putri kami yang baru berumur 41 hari baru saja menjalani operasi jantung. Tiba-tiba saja, ayah mertua sungkem kepada saya. “Mungkin selama ini saya ada salah kepada Paulus. Ini waktu yang baik untuk minta maaf,” katanya dengan penuh ketulusan. Sontak saya kaget dan memintanya untuk kembali duduk.
Betul kata orang bijak, “Kalau anak minta maaf kepada orang tua itu biasa. Kalau orang tua minta maaf kepada anak, itu baru luar biasa!” Pengalaman ini kemudian mengakar dalam hidup saya dan membuat saya berani meminta maaf kepada kedua anak kami, jika saya berbuat salah. Orang tua toh tetap manusia. Bisa keliru dan berbuat salah!
Kebermaknaan Hidup
Dari sekian banyak pengalaman bersama ayah mertua dan inspirasi hidup yang saya peroleh darinya, saya menangkap ada satu tema utama yang menjadi benang merah semuanya itu yakni hidup harus bermakna.
Suatu ketika saya pernah berbicara dengan hadapan para dosen. Sebagian kecil dari mereka –menurut panitia yang mengundang- adalah orang-orang yang konon katanya begitu arogan dengan berbagai prestasi dan gelar akademik yang disandangnya.
Pada saat itu, saya menyampaikan sesuatu yang membuat beberapa peserta tampak terkejut, bahkan mungkin tidak suka, “Jika Anda orang hebat, pernah meraih banyak prestasi spektakuler, terkenal dan memiliki gelar begitu banyak, itu semua bagus namun itu semua akan sirna begitu Anda dimakamkan. Lima atau sepuluh tahun setelah kepergiaan Anda, orang akan melupakan semuanya itu. Satu-satunya yang akan mereka ingat hanyalah kebaikan-kebaikan yang pernah Anda lakukan untuk mereka.”
Pernahkah Anda mendengar orang yang meminta agar di batu nisannya dituliskan daftar berisi segudang prestasi dan gelar-gelar yang pernah di raihnya? Tentu saja tidak! Sebuah pepatah bijak pernah mengingatkan, “Semua bayi terlahir ke dunia dengan tangan terkepal namun kehidupan punya cara tersendiri untuk membuat orang melepaskan semuanya itu ketika ia kembali.”
Anthony Campolo pernah menceritakan sebuah studi sosiologis mengenai lima puluh orang berusia sembilan puluh tahun lebih. Mereka ditanya, seandainya Anda bisa mengulang kembali kehidupan Anda, apa yang mau Anda lakukan secara berbeda? Tentu ini adalah pertanyaan terbuka dengan berbagai jawaban berbeda. Namun yang luar biasa ada tiga jawaban teratas.
Pertama, seandainya saya harus mengulang kembali hidup ini saya akan lebih banyak merenung. Kedua, seandainya saya harus mengulang kembali hidup ini, saya akan lebih banyak mengambil risiko. Dan ketiga, seandainya saya harus mengulang kembali hidup ini, saya akan mengerjakan hal-hal yang tetap langgeng setelah saya berpulang nanti.
Riset ini seakan memperkuat bahwa kebermaknaan hidup jauh lebih penting daripada sekedar mengejar ambis, kekayaan, popularitas, dan sebagainya. Panjangnya usia bukanlah sebuah jaminan hidup seseorang akan bermakna. Kebermaknaan hidup baru bisa diraih ketika seseorang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, namun mau memberikan hati bahkan hidupnya bagi orang lain.
Bagaimana dengan Anda dan saya?